|
» ARSIP BUKU-e
Judul |
: |
Land Reform Lokal a la Ngandagan: Inovasi Sistem Tenurial Adat di Sebuah Desa Jawa, 1947-1964 |
 |
Penulis |
: |
Mohamad Shohibuddin, Ahmad Nashih Luthfi |
Keterangan |
: |
bidang |
- |
ilmu-sosial untuk jenjang lanjut |
|
bahasa |
- |
Indonesia |
|
tebal |
- |
xxxiii + 179 halaman |
|
ISBN |
- |
978-6208-1295-59-8 (2010)
 |
Penerbit |
: |
Sajogyo Institute, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional |
Berbagi |
: |
Facebook |
Twitter
|
Deskripsi singkat :
Seperti di penjuru Nusantara lainnya, pada masa silam sistem tanah komunal juga pernah dikenal di Jawa: tanah dikuasai oleh desa untuk secara periodik diredistribusikan di antara para warga-inti desa (disebut sikep, gogol, kuli, dll). Di bawah kolonialisme Belanda, sistem ini kemudian di(salah)manfaatkan oleh penguasa kolonial untuk menjalankan tanam paksa serta mendapatkan tanah dan tenaga kerja secara murah--sebuah "moda produksi kolonial". Tak heran jika warisan komunalisme yang berbau kolonial ini segera menjadi sasaran utama agenda land reform di awal era kemerdekaan. Meski demikian, nun di sebuah desa di sudut tenggara Jawa Tengah, sebuah inovasi menarik di bawah kepemimpinan lokal pernah dilakukan pada 1947-1964. Memaknai ulang sistem tanah komunal yang pernah dikenal, komunitas desa ini berprakarsa menjalankan program redistribusi tanah sawah dan perluasan lahan kering di desa sehingga semua warga desa akhirnya memiliki akses atas tanah. Selain itu, larangan jual-beli dan penyakapan tanah ditegakkan dengan keras, sedangkan hubungan tenaga kerja dilakukan melalui tukar-menukar tenaga seraya menghindari segala bentuk patronase maupun subordinasi. Keberhasilan inovasi lokal ini, setelah pernah ditulis oleh Gunawan Wiradi pada tahun 1960 untuk karya skripsinya, dicoba disuarakan kembali dalam buku ini. Pengarang buku ini mencoba memaknai peristiwa lokal itu dalam konteks kekinian, seraya berargumen bahwa "retradisionalisasi" tidak harus selalu berarti kembali ke "masa lampau" dan "feodalisme". Dilakukan dengan semangat "keadilan sosial", melalui kombinasi "revitalisasi" dan "reinterpretasi" norma hukum adat, komunitas desa Ngandagan telah mencontohkan bagaimana "retradisionalisasi" bisa menjadi mekanisme untuk mewujudkan land reform. Dalam arti demikian, komunitas Ngandagan telah berhasil memberikan jawaban atas problem agraria yang dialami rakyat pasca kemerdekaan (yang negara tidak mampu melakukannya saat itu); tragisnya, untuk kemudian dijungkirbalikkan sama sekali pasca peristiwa "tragedi 1965".
|